Filipina Keluar dari ICC, Tapi Mengapa Rodrigo Duterte Tetap Ditangkap?

Rabu, 19 Maret 2025 08:09 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Borgol
Iklan

Penangkapan Duterte oleh ICC tetap sah meski Filipina keluar pada 2019, karena yurisdiksi tetap berlaku atas kejahatan saat ia berkuasa.

Pada 11 Maret 2025, Rodrigo Duterte, mantan Presiden Filipina, ditangkap atas perintah International Criminal Court (ICC). Ia diduga melakukan kejahatan kemanusiaan dalam kebijakan perang melawan kartel narkoba dalam masa kepemimpinannya. Penangkapan yang dilakukan ICC ini tentu saja mengejutkan banyak pihak, karena Filipina telah menarik diri dari keanggotaan ICC sejak 2019.

Keputusan ICC untuk tetap mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Duterte memunculkan berbagai pertanyaan, terutama soal dasar hukum yang digunakan lembaga peradilan internasional tersebut. Banyak pendukung Duterte berargumen bahwa karena Filipina sudah bukan lagi bagian dari ICC, maka pengadilan tersebut tidak berhak mengadili mantan presiden mereka.

 Dalam pernyataannya, Duterte menyebut bahwa langkah ICC ini sebagai "serangan tak berdasar" terhadap pemerintahannya dan berusaha untuk melindungi dirinya dari akuntabilitas atas tindakan yang diambil selama kampanye tersebut.

Duterte menghadapi tuduhan serius terkait kejahatan terhadap kemanusiaan, termasuk pembunuhan yang dilakukan dalam konteks perang melawan narkoba. Selama periode kepresidenannya, diperkirakan lebih dari 6.000 orang tewas akibat operasi penegakan hukum yang sering kali melibatkan penggunaan kekuatan mematikan oleh polisi dan kelompok vigilante. Banyak korban adalah individu yang dituduh terlibat dalam peredaran narkoba, tetapi banyak juga yang tidak memiliki bukti keterlibatan. Kelompok hak asasi manusia telah mendokumentasikan banyak kasus pembunuhan di luar hukum, menyoroti sifat sistematis dari kekerasan tersebut.

Namun, mengapa ICC tetap memiliki kewenangan untuk mengkap Duterte?

Prinsip Yurisdiksi ICC

International Criminal Court (ICC) tetap memiliki yurisdiksi atas kejahatan yang terjadi saat Filipina masih menjadi anggota ICC. Filipina meratifikasi Statuta Roma pada 30 Agustus 2011, sehingga ICC memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan terhadap kasus yang terjadi selama periode tersebut. Kejahatan yang menjadi dasar penyelidikan adalah dugaan pelanggaran hak asasi manusia dalam kebijakan War on Drugs yang diterapkan oleh pemerintahan Rodrigo Duterte.

Ketika Filipina mengajukan pengunduran diri dari ICC pada 17 Maret 2018, terdapat masa transisi selama satu tahun sebelum keanggotaan mereka secara resmi berakhir pada 17 Maret 2019. Menurut Pasal 127 (2) Statuta Roma, meskipun suatu negara telah menarik diri dari ICC, pengadilan tetap memiliki yurisdiksi atas kasus yang terjadi saat negara tersebut masih menjadi anggota. Hal ini berarti bahwa ICC masih dapat melanjutkan penyelidikan terhadap dugaan kejahatan yang terjadi sebelum 17 Maret 2019.

Yurisdiksi Tetap Berlaku Meskipun Filipina Keluar dari ICC

Dalam Statuta Roma Pasal 12, disebutkan bahwa negara yang telah meratifikasi statuta tetap terikat dengan hukum internasional yang berlaku dalam periode keanggotaannya. Oleh karena itu, meskipun Filipina tidak lagi menjadi anggota ICC setelah 2019, ICC masih berhak untuk mengadili individu yang diduga melakukan kejahatan selama periode keanggotaan tersebut.

Selain itu, ICC memiliki prinsip yurisdiksi universal, yang memungkinkan pengadilan untuk menindaklanjuti kasus-kasus berat seperti kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida, dan kejahatan perang. Kampanye War on Drugs Duterte dilaporkan telah menyebabkan ribuan kematian tanpa proses peradilan yang sah, yang termasuk dalam kejahatan kemanusiaan menurut Pasal 7 Statuta Roma.

Karena kasus ini sudah berada dalam tahap penyelidikan awal (preliminary examination) sebelum Filipina keluar dari ICC, maka ICC masih berhak untuk melanjutkan proses hukum. Bahkan, ICC dapat menerbitkan surat perintah penangkapan internasional jika ditemukan bukti kuat bahwa Duterte bertanggung jawab atas kejahatan tersebut.

Prinsip Komplementaritas dalam Hukum Internasional

International Criminal Court (ICC) memiliki prinsip komplementaritas, yang berarti bahwa ICC hanya akan menangani suatu kasus jika sistem hukum domestik tidak mampu atau tidak mau mengadilinya secara adil dan menyeluruh. Dalam kasus Rodrigo Duterte, meskipun Filipina telah keluar dari ICC sejak 2019, pengadilan internasional tetap berwenang untuk bertindak karena adanya dugaan impunitas dalam sistem peradilan Filipina.

Sejak diluncurkannya kebijakan War on Drugs oleh Duterte pada 2016, ribuan orang telah menjadi korban eksekusi di luar hukum tanpa proses peradilan yang jelas. Banyak laporan dari kelompok hak asasi manusia mengungkap bahwa aparat keamanan Filipina tidak hanya memburu pengedar narkoba, tetapi juga menargetkan pengguna narkoba dan masyarakat miskin. Sayangnya, meskipun banyak kasus dilaporkan, sistem peradilan domestik Filipina tidak menunjukkan upaya serius untuk mengadili pelaku pelanggaran ini.

Bukti lain dari kegagalan sistem hukum domestik adalah pernyataan Duterte sendiri yang secara terang-terangan menantang ICC dan komunitas internasional, dengan menyatakan bahwa ia tidak takut dipenjara dan bahkan bersumpah akan terus melanjutkan kebijakan kerasnya terhadap narkoba. Filipina bahkan secara aktif menghentikan kerja sama dengan ICC, termasuk menolak permintaan penyelidikan lebih lanjut, yang semakin memperkuat dugaan bahwa pemerintah Filipina tidak berniat untuk membawa kasus ini ke jalur hukum.

Dukungan dan Tekanan Internasional

Keputusan ICC untuk melanjutkan penyelidikan terhadap Duterte mendapat dukungan luas dari berbagai negara dan organisasi hak asasi manusia. Kelompok seperti Amnesty International dan Human Rights Watch secara konsisten mendokumentasikan kejahatan kemanusiaan yang terjadi di bawah kepemimpinannya. Mereka menegaskan bahwa tidak ada impunitas bagi pemimpin yang melanggar hukum internasional, dan mendesak ICC untuk mengambil langkah tegas.

Beberapa negara anggota ICC, terutama di Eropa dan Amerika Latin, juga menyuarakan dukungan terhadap penyelidikan ini. Mereka berpendapat bahwa ICC harus menjalankan mandatnya untuk memastikan keadilan bagi korban War on Drugs di Filipina. Sementara itu, PBB dan Komisi HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa telah beberapa kali meminta Filipina untuk bekerja sama dalam penyelidikan dan menghentikan praktik eksekusi di luar hukum.

Tekanan dari komunitas internasional juga datang dalam bentuk sanksi politik dan diplomatik. Beberapa negara telah mempertimbangkan untuk membekukan bantuan militer dan kerja sama dengan Filipina, khususnya yang berkaitan dengan pelatihan kepolisian dan penegakan hukum. Ini menunjukkan bahwa komunitas global tidak akan tinggal diam ketika pemimpin suatu negara melakukan kejahatan yang melanggar hukum internasional.

Kesimpulan

Penangkapan Rodrigo Duterte oleh International Criminal Court (ICC) menandai perkembangan penting dalam upaya penegakan hukum internasional. Meskipun Filipina telah menarik diri dari ICC sejak 2019, hukum internasional tetap memungkinkan pengadilan untuk menyelidiki kejahatan yang terjadi selama periode keanggotaannya. Prinsip yurisdiksi retroaktif yang diatur dalam Statuta Roma memastikan bahwa dugaan pelanggaran hak asasi manusia dalam War on Drugs tetap dapat diproses secara hukum.

Selain itu, prinsip komplementaritas dalam hukum internasional berperan dalam keputusan ICC untuk bertindak. Ketika sistem peradilan domestik dianggap tidak mampu atau tidak mau mengadili suatu kasus, ICC memiliki kewenangan untuk turun tangan. Dukungan luas dari komunitas internasional, termasuk organisasi hak asasi manusia dan beberapa negara anggota ICC, menunjukkan bahwa kasus ini menjadi perhatian global.

Kasus ini memberikan preseden penting bagi hukum internasional dalam memastikan bahwa kejahatan berat tidak luput dari pertanggungjawaban, terlepas dari status keanggotaan suatu negara di ICC. Perkembangan selanjutnya akan menentukan bagaimana Filipina dan komunitas internasional merespons proses hukum yang sedang berlangsung.

 

Referensi:

  1. Furkon, A. R. (2020). Analisa pengunduran diri Filipina dari keanggotaan International Criminal Court tahun 2019 (Skripsi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta). UIN Jakarta Repository. https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/55272/1/AHMAD%20RIZQY%20FURKON.FISIP.pdf
  2. Nugraha, F. (2025). Aspek hukum di balik penangkapan Rodrigo Duterte oleh ICC. Metro TV News. https://www.metrotvnews.com/read/koGCdoGE-aspek-hukum-di-balik-penangkapan-rodrigo-duterte-oleh-icc
  3. CNN Indonesia. (2025). Isi surat ICC minta Filipina tangkap eks Presiden Rodrigo Duterte. CNN Indonesia. https://www.cnnindonesia.com/internasional/20250312170040-106-1208093/isi-surat-icc-minta-filipina-tangkap-eks-presiden-rodrigo-duterte

Bagikan Artikel Ini
img-content
Syahrani Annisa Zahra

Mahasiswa S1 Hubungan Internasional

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler